Selasa, 19 Agustus 2014

Hasil Wawancara CEO Combiphar, Michael Wanandi

Kami Tidak Mau Sama dengan Pemain Lain, Michael Wanandi, Presiden Direktur PT Combiphar:

Fransiska Firlana


Kami pernah ganti logo dan warna identitas perusahaan sampai tiga kali. Pertama warna merah, lalu biru, dan yang sekarang ungu. Kenapa ungu? �We want to be unique�. Kami tidak mau sama dengan pemain yang lain. Kami pilih ungu sebagai warna dasar karena perusahaan farmasi lain biasanya identik dengan warna biru atau hijau. Bukan hanya logo atau warna dasar identitas perusahaan yang diubah, kami juga membuat beberapa strategi bisnis untuk Combiphar. Pasalnya, di Indonesia, ada 200 perusahan farmasi lokal.

Perusahaan-perusahaan ini umumnya bergerak di bidang yang sama, yaitu obat generik. Maklum, negara ini belum memiliki kemampuan menciptakan obat-obatan sendiri. Biasanya, bila hak paten sudah habis baru kami mengkopinya. Menciptakan obat juga membutuhkan biaya yang mahal dan diperlukan ilmuwan-ilmuwan. Lantaran tidak adanya diferensiasi dalam berbisnis, yang terjadi di industri farmasi adalah perang harga. Jadi, bukan kompetisi dari sisi produk. 

Tapi, saya tidak mau Combi-phar terus berlarut-larut mengikuti perang harga. Sebab, nyatanya cara ini bukan strategi jitu. Apalagi dengan adanya sistem jaminan kesehatan, persaingan harga makin ramai. Kondisi itulah yang membuat kami harus berubah, dari perusahaan farmasi obat generik menjadi consumer health. Strategi yang dilakukan adalah mengarahkan produk kami ke obat-obat yang bersifat pencegahan atau preventif. Strategi tersebut telah kami susun sekitar tahun 2012. 

Kami melihat adanya peluang dari kebijakan sistem jaminan kesehatan yang dibuat pemerintah. Kecenderungannya lebih banyak pada proses pengobatan atau penyembuhan. Sementara, orang selalu ribut karena harga obat penyembuh mahal. Nah, kami ingin mengajak masyarakat melakukan tindakan preventif dibandingkan harus mengeluarkan uang untuk membeli obat yang mahal. 

Kami melihat belum banyak pemain di Indonesia yang melakukan edukasi dan mempromosikan tindakan-tindakan preventif. Makanya kami ubah haluan mengambil peran tersebut melakukan tindakan preventif. Kami pun meluncurkan produk-produk obat yang bersifat preventif. Arah kami ke depan memang ke produk pencegahan penyakit. Produk yang sudah kami luncurkan, misalnya Hezandra, yaitu produk suplemen pelindung hati yang mengandung nano-curcuminoid dan zat aktif lainnya. 

Akhir tahun lalu, kami juga meluncurkan produk kebersihan organ intim wanita bermerek Prive. Produk lain yang sedang disiapkan adalah obat tetes mata. Belum lama ini, kami baru mengakuisisi produsen obat tetes mata. Obat ini biasanya dipakai pas mata kering atau memerah. Nah, kalau dikembangkan bisa untuk obat preventif kesehatan mata. Di Jepang dan Korea, obat tetes mata untuk langkah preventif. Mendirikan divisi riset Inovasi produk itu perlu, tapi kesuksesan perusahaan bukan dari banyaknya jenis obat yang diproduksi. 

Lebih penting adalah bagaimana produk yang kami ciptakan bisa berdampak dan dipakai orang banyak. Cukup sulit mencari produk yang inovatif. Kami harus mencari produk yang memang sesuai target. Biasanya kami mencari ide produk di negara-negara yang 10 tahun atau 20 tahun lebih maju dari Indonesia. Tantangan yang juga dihadapi adalah membangun merek suatu produk itu tidak mudah. Kami harus mencari merek yang tepat sehingga bisa diterima pasar. 

Nah, dibutuhkan riset khusus. Untuk itulah, kami membentuk divisi riset tahun lalu. Divisi ini harus melakukan riset pola-pola konsumen ataupun penentuan nama produk. Produknya harus sesuai demografi konsumen. Kami mengembangkan fasilitas research & development untuk mengoptimalkan kualitas obat sehingga memenuhi persyaratan BioAvailability dan BioEquivalence serta di bidang nanotechnologi. Kalau hanya menjual obat generik, brand mungkin tidak terlalu penting. 

Strateginya hanya di harga. Tapi, kalau menciptakan merek, yang terpenting bukan di harga, melainkan pada kualitas sekaligus konsep yang bisa diterima konsumen. Sejak saya menjadi presiden direktur pada tahun 2011, segmen Combiphar sudah difokuskan pada kalangan menengah atas. Ini hanya untuk memperjelas segmen yang ingin dicapai. Kami tidak melakukan spesifikasi khusus obat Combiphar hanya untuk golongan tertentu, namun kami memang memberikan untuk segmen menengah.

 Kami memilih segmen itu karena pendapatannya per kapita sudah cukup. Mereka sudah punya pengeluaran per bulan atau per hari yang tidak sebatas hanya untuk makan, tetapi sudah memikirkan untuk kebutuhan lain seperti hiburan, tabungan, dan kesehatan. Segmen ini sejalan dengan komitmen Combiphar memberikan obat-obat preventif. Sebab, biasanya yang memiliki kemampuan menyisihkan dana untuk tindakan preventif ini ada di level menengah. Segmen Combiphar dulu tidak terfokus.

 Sebagai pemain generik tentu larinya memang ke siapa saja. Tapi memang segmennya lebih middle low. Produk kami yang sangat populer selama puluhan tahun yaitu OBH Combi yang segmennya di middle low. Di segmen menengah atas pun kami lebih banyak menarik konsumen wanita yang baru saja berkeluarga. Peran wanita ke depan sangat besar untuk kepentingan keluarga, terutama masalah kesehatan. Sementara itu, kami akan membangun satu pabrik baru tahun depan karena produk dan volume produksi kami bertambah. Pabrik kami sekarang ada di Padalarang, Bandung. 

Sosialisasi organisasi Sukses itu mempunyai dua unsur, yaitu strategi yang dipergunakan harus tepat dan organisasinya. Dua unsur ini harus dimiliki, karena tidak cukup hanya dengan strategi yang tepat sementara organisasinya tidak siap. Organisasi harus bisa mendukung strategi. Sebaliknya, perusahaan yang punya organisasi tapi tak memiliki strategi sama saja tak sukses. Strategi itu relatif mudah dibikin. Dalam kurun waktu tiga bulan atau empat bulan, top management bisa duduk bersama-sama untuk membuat formulasi suatu strategi dengan berbagai pertimbangan sebab akibat. 

Yang paling sulit adalah mindset dari organisasinya. Organisasi yang biasanya bekerja untuk perusahaan farmasi generik selama puluhan tahun harus diubah pola pikirnya terhadap strategi baru untuk jadi perusahaan consumer health. Yang paling pertama dilakukan adalah sosialisasi strategi yang baru. Ini tak cukup dilakukan sekali di forum, tapi butuh pendekatan cukup intens. Jadi, selama tahun 2013 lalu saya roadshow ke cabang-cabang Combiphar. Saya melakukan sosialisasi langsung ke karyawan di sekitar 30 cabang perusahaan ini. Saya juga melibatkan beberapa direksi untuk sosialisasi. 

Saya maupun direksi lain menyampaikan perubahan arah bisnis Combiphar ke seluruh karyawan, termasuk buruh di pabrik. Hingga kini sosialisasi itu masih berjalan. Saya merasa alasan kami harus berubah sudah bisa diterima oleh banyak karyawan. Saya merasa perlu juga sosialisasi hingga ke level buruh agar tidak ada salah pengertian. Biasanya kalau cuma berhenti di level satu atau dua, implementasinya tidak sesuai harapan. Saat ini kami memiliki 1.400 karyawan. Berkat kerja keras seluruh awak Combiphar, pada awal tahun 2013 lalu kami memperoleh sertifikasi Therapeutic Goods Administration (TGA) dari Kementerian Kesehatan Australia. o 

 http://executive.kontan.co.id/news/kami-tidak-mau-sama-dengan-pemain-lain/2014/04/23

Selasa, 17 Juni 2014

Sapi Sampah

 Reportase 1308MIV_38_REPORTASE (Dimuat di Tabloid KONTAN Minggu ke IV Agustus 2013)

Perut sapi pun Berisi Bola-Bola Plastik

Meski kontroversial, penggembalaan sapi di TPA Jatibarang, Semarang, tetap marak

Fransiska Firlana


Apa yang ada di dalam pikiran Anda ketika membayangkan suasana tempat pembuangan akhir (TPA) sampah? Jawabannya pasti tunggal: tidak nyaman! Hal ini bisa ditemui di TPA Jatibarang, Kecamatan Mijen, Semarang, Jawa Tengah. Bau busuk langsung menyengat hidung dalam radius dua kilometer dari TPA yang terletak enam kilometer sebelah barat daya pusat kota Semarang tersebut. Jalan menuju lokasi itu berlubang-lubang lantaran aspalnya sudah terkelupas.

Saban lima menit, tiga truk sampah berukuran sedang memasuki TPA itu untuk memuntahkan muatannya. Hasilnya, terbentuk gunungan sampah setinggi sekitar 30 meter. Namun, ada keriuhan setiap kali truk sampah memuntahkan isi muatannya. Saat KONTAN mendatangi tempat itu pada akhir Juli lalu, deru mesin eskavator yang berusaha meratakan sampah itu berpadu dengan dengungan ribuan lalat hijau dan suara lenguhan ribuan sapi. Maklum, TPA Jatibarang adalah salah satu TPA di Indonesia yang lahannya menjadi tempat penggembalaan hewan ternak tersebut.

Saban hari, TPA Jatibarang menampung sekitar 850 ton sampah dari 16 kecamatan di seantero Kota Semarang. �Yang masuk ke pabrik pengolahan sampah organik sebanyak 350 ton, sedangkan yang masuk ke lokasi buang 500 ton,� ujar Suhadi, Kepala TPA Jatibarang. Setiap hari sebanyak 400 truk masuk ke TPA seluas 44 hektare itu. Sesaat setelah truk itu mengeluarkan sampah, ribuan sapi dan puluhan pemulung langsung datang mengerubunginya.

Dua jenis makhluk hidup itu terlihat sangat akur, berbagi tempat untuk mengais sampah. Sembari berceloteh, pemulung sibuk memilih barang-barang yang mungkin masih bisa dimanfaatkan atau dijual kembali. Sedangkan kawanan sapi dengan santainya mengais sampah yang bisa dimakan. sapi-sapi di TPA itu sudah hafal betul kondisi di sana. Ketika truk sampah datang, kawanan sapi langsung berbondong-bondong merapat ke truk sampah. �Sudah biasa begini, saling berbagi. Saya ambil plastik buat dijual, sapinya cari apa yang bisa dimakan,� ujar salah seorang pemulung yang berasal dari daerah Kebumen.

Sapi kompensasi bantuan pemerintah Tentunya, ribuan kawanan sapi itu bukanlah milik para pemulung, melainkan milik warga di sekitar TPA Jatibarang, khususnya warga Desa Bambankerep, Ngaliyan. Ada sekitar 2.000 ekor di sana, milik sekitar 150 warga di 7 RT ?Desa Bambankerep. sapi-sapi lokal itu dibiarkan mencari makan sendiri di area TPA Jatibarang oleh pemiliknya. Menurut Suhadi, biasanya si pemilik sapi akan datang pada sore hari untuk mengandangkan hewan ternak tersebut. Namun, ada juga pemilik yang membiarkan sapinya. Memang, ada kandang sapi yang berderet di pinggir lokasi TPA.

Sayangnya, kondisi kandang tersebut terkesan alakadar. Lantainya beralaskan tanah sedangkan dindingnya terbuat dari kayu yang tak beraturan. Plastik-plastik terlihat berserakan di sekitar kandang sapi ?tersebut. Menurut Chamdin, salah seorang peternak sapi yang menggembalakan sapi di TPA Jatibarang, hampir seluruh warga Bambankerep memiliki sapi. Ada satu keluarga yang memiliki lima ekor sapi, 10 ekor, 20 ekor atau 30 ekor sapi.

Bahkan ada kepala keluarga yang memelihara 50 ekor sapi,� ?kata Chamdin. Tak jelas jumlah persis sapi yang dimiliki warga Desa Bambankerep tersebut. Chamdin bercerita, belum lama ini, Badan Pusat Statistik (BPS) sempat datang dan mendata jumlah sapi milik warga yang digembalakan di TPA Jatibarang. Jumlahnya sebanyak 1.400 ekor. Tapi, lanjut Chamdin, BPS menyangsikan jumlah tersebut. Sebab, jumlahnya menurun drastis dari data yang dimiliki BPS sebelumnya, yaitu sebanyak 2.700 ekor sapi. �Banyak warga di sini yang tidak jujur mengakui jumlah sapi yang dimiliki,� kata dia.

Chamdin sendiri mengaku tidak mengetahui alasan warga ogah memberikan data asli kepemilikan sapinya. Sejatinya, pendataan tersebut penting karena sapi-sapi yang ada di TPA Jatibarang itu merupakan bantuan pemerintah. Menurut Chamdin, pemerintah memberikan kompensasi atas pembukaan TPA Jatibarang kepada warga Desa Bambankerep pada tahun 1998. Kompensasi itu berupa pemberian hewan ternak sapi. Tahun 1998, pemerintah melalui dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) memberikan bantuan 35 ekor sapi yang dititipkan untuk dipelihara (gado) kepada 17 warga Bambankerep.

Setahun kemudian, melalui dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) lewat Dinas Pertanian Kotamadya Semarang, pemerintah memberikan 80 ekor sapi kepada 40 warga. Lalu, pada tahun 2000, Dinas Pertanian Kota Semarang merogoh dana dari APBD untuk membiayai pengadaan 80 ekor sapi kepada 40 warga penggado. Seiring berjalannya waktu, jumlah sapi yang dikembangbiakkan di TPA Jatibarang semakin banyak. Rusdiana, Kepala Dinas Pertanian Kotamadya Semarang, menaksir jumlahnya mencapai 3.000 ekor sapi. Alhasil, kehidupan warga di sekitar TPA Jatibarang yang semula miskin perlahan-lahan menjadi sejahtera. �Banyak yang sudah naik haji, lo,� imbuhnya. Chamdin mengakui, sebagian hasil ternak di TPA Jatibarang dikonsumsi sendiri oleh para warga.

Namun, banyak juga yang menjual hasil ternak sapi tersebut di sekitar Semarang. Bahkan, dia mengklaim pernah mengirim sapi itu kepada pembeli di Jakarta. Maklum, permintaan sapi dari Jakarta cukup banyak. �Baru sekitar tiga minggu lalu saya kirim ke Jakarta,� kata ?pria yang memang mengandalkan perekonomian keluarganya dari beternak sapi. Sebenarnya, Chamdin pernah mendapatkan tawaran untuk mengirimkan sebanyak delapan ekor sapi yang dimuat dalam satu truk setiap hari ke Jakarta. Tapi, dia tidak bisa memenuhi permintaan itu karena ketersediaan sapinya terbatas.

Yang jelas, jika Chamdin memiliki sapi yang siap jual maka dia akan menelepon calon pembelinya di Jakarta. Memang, kehadiran peternakan sapi di lokasi TPA Jatibarang ini mampu mengangkat tingkat ekonomi warga Bambankerep. Mereka sangat mengandalkan hewan ternak itu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Mulai dari biaya hidup sehari-hari, menyekolahkan anak-anak hingga membeli peralatan elektronik dan properti.

Bak simbiosis mutualisme, gunungan sampah di TPA itu juga berperan penting bagi warga Bambankerep. �Kalau sehari saja tidak ada pembuangan sampah, warga malah susah karena sapi-sapi tidak bisa makan,� imbuh Chamdin. Daging sapi berlogam dan berisi plastik Meski pengembalaan sapi di kawasan TPA Jatibarang mampu mengangkat perekonomian warga di sekitarnya, ada bahaya yang sudah mengintai. TPA Jatibarang menampung semua jenis sampah. Bukan hanya sampah pasar berupa sayuran, tetapi juga aneka sampah seperti plastik dan beragam jenis logam. Ada pula sampah industri, termasuk dari pabrik lem dan pelumas mesin.

Nah, tak tertutup kemungkinan berbagai sampah anorganik itu dimakan dan masuk ke perut sapi. M. Arifin, seorang dosen di Universitas Diponegoro yang pernah melakukan penelitian terkait identifikasi kandungan logam berat pada tubuh sapi yang digembalakan di TPA Jatibarang, mengatakan, dalam tubuh kawanan sapi tersebut terkandung logam berat jenis Pb, Hg, dan Cd yang membahayakan kesehatan konsumen. Memang, pada jangka pendek, tidak terlihat jelas efek dari masuknya logam berat itu ke dalam tubuh. Namun, dalam jangka panjang, efeknya sangat membahayakan bagi manusia, termasuk gangguan saraf. �Meskipun efeknya jangka panjang, untuk masalah kesehatan seharusnya tanpa kompromi,� ujar Edy Rianto, dosen Universitas Diponegoro yang menjadi anggota tim penelitian yang berlangsung pada 2003 tersebut.

Menurut Edy, kawanan sapi di TPA bisa terganggu sarafnya, seperti tremor. Namun, sejauh ini memang belum ada sapi yang mengalami hal itu. Efeknya belum terlihat karena sapi berusia 2,5 tahun hingga 3 tahun sudah dipotong. Daud Samsudewa, Dosen Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, juga pernah melakukan penelitian terhadap hewan ternak bebek di sebuah danau di Jawa Tengah. Bebek itu sehari-hari memakan keong yang ada di danau. Ternyata, dalam kurun waktu tertentu, bebek-bebek itu makin jarang bertelur. Hasil penelitian Daud mengungkapkan, penyebabnya ?bersumber dari keong di danau yang mengandung logam berat. Artinya, kandungan logam berat dalam tubuh manusia pada jangka panjang berpotensi mengganggu fungsi reproduksi manusia.

Hasil penelitian itu tampaknya sejalan dengan kondisi penggembalaan sapi di TPA Jatibarang. Menurut Chamdin, kondisi sapi di TPA Jatibarang tidak seperti dulu. Kalau dulu hampir setiap hari ada sapi yang beranak. �Tapi sekarang tidak,� imbuhnya. Inilah mungkin yang menjadi salah satu penyebab susutnya populasi sapi di kawasan TPA Jatibarang. Tim penelitian Universitas Diponegoro tidak hanya menemukan kandungan logam berat dalam tubuh sapi di TPA Jatibarang. Berdasarkan penelitian terhadap empat sapi yang sejak lahir hingga umur 2,5 tahun hidup di TPA itu, ternyata rumennya berisi aneka plastik setelah disembelih. Beratnya mencapai 20 kilogram hingga 25 kilogram. �Bau sampah dan busuk sekali,� kata Edy. Secara postur, sapi-sapi yang digembalakan di TPA memang gemuk-gemuk.

Maklum, makanan hewan itu penuh nutrisi. Tapi, sampah anorganik seperti kertas koran, kantong plastik, kemasan makanan ringan hingga tali rafia juga ikut masuk ke perut sapi. Nah, bila dibiarkan lama hidup, sapi-sapi itu bisa mati bukan karena sakit tapi lantaran saluran pencernaannya tersumbat oleh sampah. Kepala Seksi Kesehatan Hewan Dinas Pertanian Kotamadya Semarang, Adhityani, mengakui perut sapi-sapi dari TPA Jatibarang berisi plastik yang sudah membentuk bola-bola. �Karena tidak bisa dicerna, plastik itu membentuk bola-bola di rumen,� katanya. Suhadi juga pernah melihat sendiri pemotongan sapi hasil pengembalaan di TPA Jatibarang. Perut sapi-sapi itu berisi kantong plastik dan kardus. �Jangan ditanya baunya seperti apa, yang jelas baunya seperti sampah,� tandasnya.

Sejak itulah Suhadi enggan memakan daging sapi sajian warga di sekitar TPA tersebut. Chamdin tidak menampik berbagai temuan �ajaib� itu. �Pasti ada kalau plastik, wong mereka (sapi) makannya sembarangan,� katanya. RPH menampik Untuk menyembelih dan memotong sapi, warga Bambankerep mengantarkan hewan ternaknya ke Rumah Pemotongan Hewan (RPH). Setidaknya ada tiga RPH yang digunakan yaitu RPH Boja di Kendal, RPH Ungaran, dan RPH Penggaron. KONTAN mencoba menelesuri jejak sapi hasil ternak warga Bambankerep ke RPH Penggaron pada Selasa subuh, 23 Juli lalu.

Sayangnya, pada hari itu tidak ada pemotongan sapi hasil pengembalaan TPA Jatibarang di RPH tersebut. Sujono, salah seorang tukang potong sapi di RPH Penggaron, mengaku belum pernah memotong sapi yang perutnya berisi sampah plastik selama 15 tahun bekerja di RPH itu. Pengakuan serupa meluncur dari mulut Muhammad Misro, tukang potong sapi di tempat yang sama. Rahmanto, staf pemotongan ternak RPH Penggaron, menyatakan sapi-sapi yang masuk ke rumah pemotongan itu dipacu kualitas dagingnya dengan pakan yang baik. Maklum, penjual sapi juga sangat hati-hati dalam menjaga kualitas dagingnya.

Sapi agak basah saja, jagal bisa marah karena pasti juga ditolak oleh pembelinya,� kata Rahmanto. Pria yang sudah bekerja di RPH sejak tahun 1980 dan pengurus sanitasi RPH, ini mengaku belum pernah menemukan sapi dari penggembalaan TPA Jatibarang yang masuk ke RPH Penggaron. Sekadar informasi, ada 35 ekor sapi yang dipotong di RPH Penggaron tiap hari. Muhadi, seorang tukang jagal yang ditemui KONTAN di RPH tersebut menyatakan belum pernah mengambil atau membeli sapi dari hasil pengembalaan TPA Jatibarang. Pria yang berdagang sapi selama 40 tahun ini mengaku selalu mengambil sapi dari daerah Ambarawa.

Namun, penuturan berbeda diungkapkan salah seorang tukang jagal. Pria yang enggan disebutkan namanya itu mengaku pernah memotongkan sapi hasil ternak dari TPA Jatibarang. Kala itu, dia terpaksa mengambil sapi dari TPA ?karena harga sapi di pasaran sedang tinggi. �Kalau dari sana, harganya memang lebih murah,� kata sang jagal yang sudah menekuni profesinya sejak beberapa tahun lalu itu. Menurut Muhadi, kondisi rumah potong hewan saat ini memang tidak seperti dulu. Bila dulu dia bisa memotong lima hingga enam sapi dalam satu hari, sekarang hanya bisa memotong satu sapi lantaran harga sapi semakin mahal.

Toh, pria berusia 70 tahun ini bersikukuh tidak mau mengambil sapi dari TPA Jatibarang. Para pedagang daging di Pasar Johar, Semarang, juga menyatakan tidak pernah mengambil sapi dari RPH Penggaron atau sapi dari TPA Jatibarang. �sapi dari sana mahal, kami lebih suka mengambil sapi dari Boyolali,� kata Fatima, pedagang yang sudah 46 tahun berjualan daging di Pasar Johar. Pedagang lain di Pasar Banteng, Semarang, mengaku tidak bisa membedakan antara daging sapi yang berasal dari TPA Jatibarang atau wilayah lainnya. �Kalau pedagang di Pasar Banteng ini rata-rata mengambil daging dari jagal yang dipotongkan di RPH Penggaron,� kata Alwan Hadi Santoso, yang sudah berdagang daging sapi sejak tahun 1987. Dulu, dia juga seorang jagal tapi tidak pernah mengambil sapi dari peternak di TPA Jatibarang.

Di sisi lain, Pemerintah Kota Semarang menyadari bahaya mengonsumi daging sapi hasil ternak di TPA Jatibarang. Tapi, nyatanya mereka belum mengambil langkah nyata untuk menekan produktivitas ternak di TPA itu. �Kami sudah mencoba memberi penyuluhan untuk mengandangkan sapi-sapi itu, tapi sulit. Yang jelas, kami sudah menghentikan bantuan ternak ke wilayah itu,� kata Rusdiana. Bahaya daging sapi pemakan sampah tak hanya mengintai masyarakat Kota Semarang. Banyak sekali TPA di daerah lain yang juga menjadi lokasi favorit penggembalaan ternak sap

Rabu, 30 April 2014

RATAP

    


*Teruntuk Darna Sri Astuti, Korban Mutilasi di Tol  Cawang-Cikampek

Dia menyayatku
Begitu tenang
Dia mengirisku
Begitu dingin
Dia memotongku
Begitu tega

Terbelah aku
Terputus aku
Terpecah aku
Terkucur aku
dan berserakan aku

membusuklah setiap potong tubuh yang pernah disanjung
binatang pengurai terus menembus setiap selku
Dan para indra pencium pun galau mencari hulu bau
risaumu pun tak terelak
Dengan sang benalu, kau melarikanku di jalan berjaga
Dan berceceranlah aku
Harapmu, mereka melindasku hingga tak berjejak

Gelap matanya
hingga kakikupun tak bersentuh bumi
Dingin dan linglung
menatap raga yang pernah dicintanya
menatap tubuh berserak yang pernah dinikmatinya
menatap hati terburai yang pernah dipujanya

dia telah melumat cinta buta menjadi keji
Setiaku, patuhku, tak sekukupun dikenang

Pisaumu hanya bicara nadi yang terputus
Tapi bibir-bibir perempuan senasibku polos berujar, mengaratkan segala alibimu

Ketika kau bergelang besi
Mulutmu berujar fitnah, akulah pembawa benalu
Lagi, perempuan-perempuan itu bersaksi
Setiakulah yang kauingkari
Punggungku yang hilang tulang
Tak ada harga untukmu

Kini, semua nanar menghujammu
mengutukmu, berharap kau mati ditembus mesiu
Dan tak ada tega aku melihatmu.

15 Maret 2013

Perempuan itu Bernama Anastasia Maridjah


Dia ibuku
Berat tubuhnya tak pernah lebih dari 36 kilogram
kecuali saat mengandung
ketika gadis dia sangat ayu
Gaun sederhana atau kebaya kutu baru
selalu membalut tubuhnya yang ramping
rambutnya yang ikal selalu rapi disanggul ceplok
Seorang pemuda berpangkat di angkatan ditampiknya
Dia memilih seorang guru sederhana dari kidul kuburan
Bertahan di rumah warisan mertua dia mengasuh sembilan anaknya
Pagi jam 5 sarapan sudah selesai dibuatnya
dia lalu beranjak ke sawah untuk bertani
sekilo dua kilo terong dipetik
seikat dua ikat kancang panjang dipetik
Lalu dijualnya
tak lebih dari 500 perak dibawany pulang kala itu
Dia juga tak lupa membawa seikat genjer yang bakal dioseng dengan tempe bosok
untuk jamuan makan malam
Dia ibuku
berat tubuhnya tak pernah lebih dari 36 kilogram
kecuali saat mengandung

27 April 2014

Kamis, 17 Oktober 2013

Rindu Kawasan Industri Hijau

Pagi ini aku bersama bos meluncur ke daerah Gunung Putri, Bogor. Sebuah kawasan industri yang cukup padat. Memasuki kawasan industri itu, jalan berbatu yang terjal harus kami lalui. Truk-truk besar dan peti kemas berjalan pelan  karena harus berbagi dengan kendaraan lain seperti angkot berwarna biru. Maklum saja jalan yang dilalui tak terlalu lebar.

Aku dan bos punya kesimpulan yang sama. Mengapa di suatu kawasan industri jalanan dan kondisinya selalu di tidak nyaman. Jalan tak mulus dan sempit. Kondisi masyarakatnya pun tampaknya sudah akrab dengan debu-debu beterbangan setiap truk atau kendaraan melintas. Dulu, ketika aku reportase di kawasan industri di kawasan Bekasi pemandangan  juga taj jauh berbeda.

Kupikir, ketika sebuah perusahaan nyemplung di suatu area yang memang dikonsentrasikan untuk industri yang ditata apik itu hanya kawasan pabriknya saja. Apa mereka tidak merasa perlu mendandani area kanan kiri pabrik dan jalan menuju pabriknya. Alakah indahnya bila para pemilik pabrik itu bersama-sama bertanggung jawab dengan menata lingkungan yang nyaman bagi masyarakat sekitar.

Ya, pasti saja mereka pasti sudah merasa melakukan tugas sosial perusahaan dengan melakukan kegiatan CSR. Tapi tidak sedikit perusahaan yang melakuka CSR hanya sebatas kegiatan saja. Misalnya mengadakan sunatan masal. Seandainya saja mereka juga melakukan pembinaan masyakat sekeliling pabriknya untuk belajar menjadi wirausaha tentu, masyakarakat juga akan terdorong untuk menjaga lingkungan. Jadi kegiatan menjaga lingkungan bisa dilakukan baik oleh masyarakat dan pemilik industri.

Akan tampak nyaman bila, jalan-jalan menuju pabrik diaspal atau di beton dengan kuat -mengingat truk-truk selalu hilir mudik- sehingga tidak cepat berlubang atau rusak. Lantas ada penyisaan tanah untuk pohonan. Tentu pemandangannya dan kenyamanan di kawasan industri bisa terbangun. Bersama menjaga lingkungan.

Kamis, 06 September 2012

Pelecehan Seksual Oleh Warga Perancis Terhadap Tiga Anak Jogjakarta

Semalam seorang teman yang bermukim di Perancis mengajak chat. Dia memintaku untuk mengedit siaran pers tentang kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh warga negara Perancis terhadap tiga orang WNI. Temanku yang berkebangsaan Perancis itu memintaku untuk membenahi siaran pers yang sudah diterjemahkannya dari Bahasa Perancis ke Bahasa Indonesia. Tapi karena Bahasa Indonesia dalam siaran pers itu kurang 'rapi' dia memintaku mengeditnya.

Setelah aku membaca siaran pers itu, aku baru ingat. Kasus yang akan disidangkan Jumat 7 September 2012 ini sudah pernah diceritakannya padaku sekitar tujuh atau delapan tahun lalu. Baru terungkap sekarang?

Ya memang butuh proses yang panjang. Sebab kejadian pelecehan itu menimpa anak-anak yang tuna rungu. Mereka belum mau bercerita kala itu. Teman-teman NGO Perancis pun belum bisa mengungkap karena kurangnya bukti saat itu dan korban belum mau bercerita. 

Lama tak mendengar cerita itu, sekarang setelah tujuh atau delapan tahun berlaku dari cerita itu, ada berita di media online yang mengabarkan persidangan kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh pemimpin organisasi sosial berkewarganegaraan Perancis terhadap anak-anak berkewarganegaraan Indonesia. Akhirnya, anak-anak itu yang mungkin sekarang sudah besar, sudah berani mengungkap. 

Semoga, sang pelaku yang hingga saat ini masih mengelak dari tuduhan bisa mendapatkan ganjaran karena sudah ada bukti-bukti. 

"Pada awalnya dia (pelaku) berharap akan dapat lolos karena mereka (korban) tuna rungu tapi bahasa isyarat sdh dipandang sebagai suatu bahsa d perancis kesaksian jadi valid...dia juga sempat usaha lepas jadi semoga akan disanksi nanti ku kbrkan kl sdh ad hasilnya keputusan..." tulis temanku.

Berharap sekali, dalam kasus ini pemerintah Indonesia juga ambil bagian. Entahlah bagaimana prosedurnya, yang pasti yang menjadi korban adalah anak-anak Indonesia (tuna rungu lagi).

Butuh kepedulian yang lebih besar. Boleh jadi, anak-anak korban pelecehan seksual seringkali tak berani mengungkap karena seringkali diancam pelaku atau memang tidak berdaya karena merasa 'dihidupi' oleh pelaku. Dihidupi  dalam arti ada pemenuhi ekonomi, apalagi mereka masih anak-anak, iming-iming manis tentu akan menggodanya tanpa tahu dampak perbuatan pelaku terhadap kehidupan mereka di masa yang akan datang.

Kondisi ini tidak akan terjadi apabila ada 'kehidupan' layak bagi anak-anak Indonesia. 


Partager un monde de différence
Sharing a world of differencies
www.associationsolindo.blogspot.com
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Press Release

Terdakwa Pelecehan Seksual, Gerard Carayon, akan Disidangkan Jumat, 7 September 2012

PARIS. Pada tanggal 7 September 2012, pukul 9.30 waktu Paris, akan diselenggarakan sidang pidana mengenai dugaan kasus pemerkosaan dan pelecehan seksual terhadap anak berkebutuhan khusus (disable). Sidang dengan terdakwa Mr Gerard Carayon alias Roddy de la Tour ini akan dilaksanakan di Pengadilan Tinggi Palais de Paris, di Perancis. Tindakan yang dipidanakan berlangsung di wilayah Indonesia dalam kurun waktu antara tahun 1996 dan tahun 2004.

Mr Gerard Carayon alias Roddy de la Tour, warga negara Perancis, merupakan seorang pensiunan asal Perancis yang selama kurun waktu dugaan tindak pidana terjadi tersebut bermukim di daerah Berbah, Sleman, Yogyakarta, Indonesia. Selama di Indonesia, Gerard memimpin sebuah organisasi yang mempunyai tujuan membantu anak-anak tuna rungu dan berkebutuhan khusus (disable) bernama Association Echanges France Indonesie.

Para korban dugaan pemerkosaan dan pelecehan seksual yang dilakukan Gerard berjumlah tiga orang dan semuanya merupakan warga negera Indonesia. Ketiga korban tersebut masih di bawah umur pada saat mengalami pelecehan tersebut. Anak-anak tersebut adalah anak tuna rungu.

Salah satu dari ketiga korban, akhirnya mengambil keputusan untuk mengadukan tindakan dan pelakuan keji yang dialaminya. Kesaksiannya disampaikan kepada sukarelawan asal Perancis yang juga kebetulan seorang tuna rungu. Kesaksian itu lalu disampaikan ke Konsul Perancis Yogyakarta yang menjabat waktu itu. Pihak Konsul Perancis selanjutnya menindaklanjutinya dan menyampaikannya ke Atase Keamanan Dalam Negeri yang bertugas di Kedutaan Besar Perancis di Jakarta pada waktu itu. Atase tersebut kemudian menginformasikan pihak kepolisian di Perancis mengenai tindakan yang dilakukan Gerard Carayon pada ketiga anak tuna rungu tersebut.

Berkat extraterritoriality law, terdakwa yaitu Gerard Carayon, berhasil diamankan sehingga tuntutan hukum terhadapnya dapat dilaksanakan.

Sejak tahun 2002, Solindo, sebuah NGO Perancis yang mendukung dan mempromosikan berbagai usaha kerjasama antara komponen masyarakat tuna rungu dan orang yang dapat mendengar, antara Perancis dan Indonesia berjuang melawan diskriminasi telah mengikuti perkembangan berkas kasus ini. Mereka mendukung perkembangan dan senantiasa mengawasinya supaya dapat sampai ke pengadilan.

Sejak tahun 2009, ACPE (Association Contre la Prostitution des Enfants) sebuah NGO yang berusaha melindungi Hak Anak dan melawan Prostitusi Anak telah memutuskan mewakili para korban dan mengadvokasi perjuangan mereka.

Demikian, press release ini kami buat. Silakan untuk menyebarluaskan informasi. Bila berada di Paris datanglah beramai-ramai untuk menyaksikan sidang sebagai dukungan kepada anak-anak korban pelecehan yang pada persidangan ini tidak akan dapat menghadirinya.

Bercerita lagi ah

Ah, sudah setahun rupanya aku tak menjenguk dinding ini. Awalnya memang keisengan, sapa tahu penyakit malas untuk menulis hilang. Nyatanya sampai setahun tak kubuka dinding ini tanpa ada cerita yang ditinggalkan.

Biar saja aku dibilang ketinggalan di urusan blog mengeblog. Ah memang demikian adanya. Tapi tidak ada salahnya kan aku ikut-ikutan meski ketinggalan. Hanya ingin kembali melatih menuangkan isi kepala, itung-itung bisa menunda kepikunan di masa tua nanti. Hehehehe...

Buku curhatku di rumahpun sudah lama tak tersentuh tinta pena. Ah, kemalasan menulis masih saja menghantui sejak SD sampai sekarang.

Sudah..sudah...cukup sudah berkeluhnya...sekarang ayo sedikit demi sedikit menulis lagi.