Kami Tidak Mau Sama dengan Pemain Lain, Michael Wanandi, Presiden Direktur PT Combiphar:
Fransiska Firlana
Kami pernah ganti logo dan warna identitas perusahaan sampai tiga
kali. Pertama warna merah, lalu biru, dan yang sekarang ungu. Kenapa
ungu? �We want to be unique�. Kami tidak mau sama dengan pemain yang
lain.
Kami pilih ungu sebagai warna dasar karena perusahaan farmasi lain
biasanya identik dengan warna biru atau hijau. Bukan hanya logo atau
warna dasar identitas perusahaan yang diubah, kami juga membuat beberapa
strategi bisnis untuk Combiphar.
Pasalnya, di Indonesia, ada 200 perusahan farmasi lokal.
Perusahaan-perusahaan ini umumnya bergerak di bidang yang sama, yaitu obat generik. Maklum, negara ini belum memiliki kemampuan menciptakan obat-obatan sendiri. Biasanya, bila hak paten sudah habis baru kami mengkopinya. Menciptakan obat juga membutuhkan biaya yang mahal dan diperlukan ilmuwan-ilmuwan. Lantaran tidak adanya diferensiasi dalam berbisnis, yang terjadi di industri farmasi adalah perang harga. Jadi, bukan kompetisi dari sisi produk.
Tapi, saya tidak mau Combi-phar terus berlarut-larut mengikuti perang harga. Sebab, nyatanya cara ini bukan strategi jitu. Apalagi dengan adanya sistem jaminan kesehatan, persaingan harga makin ramai. Kondisi itulah yang membuat kami harus berubah, dari perusahaan farmasi obat generik menjadi consumer health. Strategi yang dilakukan adalah mengarahkan produk kami ke obat-obat yang bersifat pencegahan atau preventif. Strategi tersebut telah kami susun sekitar tahun 2012.
Kami melihat adanya peluang dari kebijakan sistem jaminan kesehatan yang dibuat pemerintah. Kecenderungannya lebih banyak pada proses pengobatan atau penyembuhan. Sementara, orang selalu ribut karena harga obat penyembuh mahal. Nah, kami ingin mengajak masyarakat melakukan tindakan preventif dibandingkan harus mengeluarkan uang untuk membeli obat yang mahal.
Kami melihat belum banyak pemain di Indonesia yang melakukan edukasi dan mempromosikan tindakan-tindakan preventif. Makanya kami ubah haluan mengambil peran tersebut melakukan tindakan preventif. Kami pun meluncurkan produk-produk obat yang bersifat preventif. Arah kami ke depan memang ke produk pencegahan penyakit. Produk yang sudah kami luncurkan, misalnya Hezandra, yaitu produk suplemen pelindung hati yang mengandung nano-curcuminoid dan zat aktif lainnya.
Akhir tahun lalu, kami juga meluncurkan produk kebersihan organ intim wanita bermerek Prive. Produk lain yang sedang disiapkan adalah obat tetes mata. Belum lama ini, kami baru mengakuisisi produsen obat tetes mata. Obat ini biasanya dipakai pas mata kering atau memerah. Nah, kalau dikembangkan bisa untuk obat preventif kesehatan mata. Di Jepang dan Korea, obat tetes mata untuk langkah preventif. Mendirikan divisi riset Inovasi produk itu perlu, tapi kesuksesan perusahaan bukan dari banyaknya jenis obat yang diproduksi.
Lebih penting adalah bagaimana produk yang kami ciptakan bisa berdampak dan dipakai orang banyak. Cukup sulit mencari produk yang inovatif. Kami harus mencari produk yang memang sesuai target. Biasanya kami mencari ide produk di negara-negara yang 10 tahun atau 20 tahun lebih maju dari Indonesia. Tantangan yang juga dihadapi adalah membangun merek suatu produk itu tidak mudah. Kami harus mencari merek yang tepat sehingga bisa diterima pasar.
Nah, dibutuhkan riset khusus. Untuk itulah, kami membentuk divisi riset tahun lalu. Divisi ini harus melakukan riset pola-pola konsumen ataupun penentuan nama produk. Produknya harus sesuai demografi konsumen. Kami mengembangkan fasilitas research & development untuk mengoptimalkan kualitas obat sehingga memenuhi persyaratan BioAvailability dan BioEquivalence serta di bidang nanotechnologi. Kalau hanya menjual obat generik, brand mungkin tidak terlalu penting.
Strateginya hanya di harga. Tapi, kalau menciptakan merek, yang terpenting bukan di harga, melainkan pada kualitas sekaligus konsep yang bisa diterima konsumen. Sejak saya menjadi presiden direktur pada tahun 2011, segmen Combiphar sudah difokuskan pada kalangan menengah atas. Ini hanya untuk memperjelas segmen yang ingin dicapai. Kami tidak melakukan spesifikasi khusus obat Combiphar hanya untuk golongan tertentu, namun kami memang memberikan untuk segmen menengah.
Kami memilih segmen itu karena pendapatannya per kapita sudah cukup. Mereka sudah punya pengeluaran per bulan atau per hari yang tidak sebatas hanya untuk makan, tetapi sudah memikirkan untuk kebutuhan lain seperti hiburan, tabungan, dan kesehatan. Segmen ini sejalan dengan komitmen Combiphar memberikan obat-obat preventif. Sebab, biasanya yang memiliki kemampuan menyisihkan dana untuk tindakan preventif ini ada di level menengah. Segmen Combiphar dulu tidak terfokus.
Sebagai pemain generik tentu larinya memang ke siapa saja. Tapi memang segmennya lebih middle low. Produk kami yang sangat populer selama puluhan tahun yaitu OBH Combi yang segmennya di middle low. Di segmen menengah atas pun kami lebih banyak menarik konsumen wanita yang baru saja berkeluarga. Peran wanita ke depan sangat besar untuk kepentingan keluarga, terutama masalah kesehatan. Sementara itu, kami akan membangun satu pabrik baru tahun depan karena produk dan volume produksi kami bertambah. Pabrik kami sekarang ada di Padalarang, Bandung.
Sosialisasi organisasi Sukses itu mempunyai dua unsur, yaitu strategi yang dipergunakan harus tepat dan organisasinya. Dua unsur ini harus dimiliki, karena tidak cukup hanya dengan strategi yang tepat sementara organisasinya tidak siap. Organisasi harus bisa mendukung strategi. Sebaliknya, perusahaan yang punya organisasi tapi tak memiliki strategi sama saja tak sukses. Strategi itu relatif mudah dibikin. Dalam kurun waktu tiga bulan atau empat bulan, top management bisa duduk bersama-sama untuk membuat formulasi suatu strategi dengan berbagai pertimbangan sebab akibat.
Yang paling sulit adalah mindset dari organisasinya. Organisasi yang biasanya bekerja untuk perusahaan farmasi generik selama puluhan tahun harus diubah pola pikirnya terhadap strategi baru untuk jadi perusahaan consumer health. Yang paling pertama dilakukan adalah sosialisasi strategi yang baru. Ini tak cukup dilakukan sekali di forum, tapi butuh pendekatan cukup intens. Jadi, selama tahun 2013 lalu saya roadshow ke cabang-cabang Combiphar. Saya melakukan sosialisasi langsung ke karyawan di sekitar 30 cabang perusahaan ini. Saya juga melibatkan beberapa direksi untuk sosialisasi.
Saya maupun direksi lain menyampaikan perubahan arah bisnis Combiphar ke seluruh karyawan, termasuk buruh di pabrik. Hingga kini sosialisasi itu masih berjalan. Saya merasa alasan kami harus berubah sudah bisa diterima oleh banyak karyawan. Saya merasa perlu juga sosialisasi hingga ke level buruh agar tidak ada salah pengertian. Biasanya kalau cuma berhenti di level satu atau dua, implementasinya tidak sesuai harapan. Saat ini kami memiliki 1.400 karyawan. Berkat kerja keras seluruh awak Combiphar, pada awal tahun 2013 lalu kami memperoleh sertifikasi Therapeutic Goods Administration (TGA) dari Kementerian Kesehatan Australia. o
http://executive.kontan.co.id/news/kami-tidak-mau-sama-dengan-pemain-lain/2014/04/23
Perusahaan-perusahaan ini umumnya bergerak di bidang yang sama, yaitu obat generik. Maklum, negara ini belum memiliki kemampuan menciptakan obat-obatan sendiri. Biasanya, bila hak paten sudah habis baru kami mengkopinya. Menciptakan obat juga membutuhkan biaya yang mahal dan diperlukan ilmuwan-ilmuwan. Lantaran tidak adanya diferensiasi dalam berbisnis, yang terjadi di industri farmasi adalah perang harga. Jadi, bukan kompetisi dari sisi produk.
Tapi, saya tidak mau Combi-phar terus berlarut-larut mengikuti perang harga. Sebab, nyatanya cara ini bukan strategi jitu. Apalagi dengan adanya sistem jaminan kesehatan, persaingan harga makin ramai. Kondisi itulah yang membuat kami harus berubah, dari perusahaan farmasi obat generik menjadi consumer health. Strategi yang dilakukan adalah mengarahkan produk kami ke obat-obat yang bersifat pencegahan atau preventif. Strategi tersebut telah kami susun sekitar tahun 2012.
Kami melihat adanya peluang dari kebijakan sistem jaminan kesehatan yang dibuat pemerintah. Kecenderungannya lebih banyak pada proses pengobatan atau penyembuhan. Sementara, orang selalu ribut karena harga obat penyembuh mahal. Nah, kami ingin mengajak masyarakat melakukan tindakan preventif dibandingkan harus mengeluarkan uang untuk membeli obat yang mahal.
Kami melihat belum banyak pemain di Indonesia yang melakukan edukasi dan mempromosikan tindakan-tindakan preventif. Makanya kami ubah haluan mengambil peran tersebut melakukan tindakan preventif. Kami pun meluncurkan produk-produk obat yang bersifat preventif. Arah kami ke depan memang ke produk pencegahan penyakit. Produk yang sudah kami luncurkan, misalnya Hezandra, yaitu produk suplemen pelindung hati yang mengandung nano-curcuminoid dan zat aktif lainnya.
Akhir tahun lalu, kami juga meluncurkan produk kebersihan organ intim wanita bermerek Prive. Produk lain yang sedang disiapkan adalah obat tetes mata. Belum lama ini, kami baru mengakuisisi produsen obat tetes mata. Obat ini biasanya dipakai pas mata kering atau memerah. Nah, kalau dikembangkan bisa untuk obat preventif kesehatan mata. Di Jepang dan Korea, obat tetes mata untuk langkah preventif. Mendirikan divisi riset Inovasi produk itu perlu, tapi kesuksesan perusahaan bukan dari banyaknya jenis obat yang diproduksi.
Lebih penting adalah bagaimana produk yang kami ciptakan bisa berdampak dan dipakai orang banyak. Cukup sulit mencari produk yang inovatif. Kami harus mencari produk yang memang sesuai target. Biasanya kami mencari ide produk di negara-negara yang 10 tahun atau 20 tahun lebih maju dari Indonesia. Tantangan yang juga dihadapi adalah membangun merek suatu produk itu tidak mudah. Kami harus mencari merek yang tepat sehingga bisa diterima pasar.
Nah, dibutuhkan riset khusus. Untuk itulah, kami membentuk divisi riset tahun lalu. Divisi ini harus melakukan riset pola-pola konsumen ataupun penentuan nama produk. Produknya harus sesuai demografi konsumen. Kami mengembangkan fasilitas research & development untuk mengoptimalkan kualitas obat sehingga memenuhi persyaratan BioAvailability dan BioEquivalence serta di bidang nanotechnologi. Kalau hanya menjual obat generik, brand mungkin tidak terlalu penting.
Strateginya hanya di harga. Tapi, kalau menciptakan merek, yang terpenting bukan di harga, melainkan pada kualitas sekaligus konsep yang bisa diterima konsumen. Sejak saya menjadi presiden direktur pada tahun 2011, segmen Combiphar sudah difokuskan pada kalangan menengah atas. Ini hanya untuk memperjelas segmen yang ingin dicapai. Kami tidak melakukan spesifikasi khusus obat Combiphar hanya untuk golongan tertentu, namun kami memang memberikan untuk segmen menengah.
Kami memilih segmen itu karena pendapatannya per kapita sudah cukup. Mereka sudah punya pengeluaran per bulan atau per hari yang tidak sebatas hanya untuk makan, tetapi sudah memikirkan untuk kebutuhan lain seperti hiburan, tabungan, dan kesehatan. Segmen ini sejalan dengan komitmen Combiphar memberikan obat-obat preventif. Sebab, biasanya yang memiliki kemampuan menyisihkan dana untuk tindakan preventif ini ada di level menengah. Segmen Combiphar dulu tidak terfokus.
Sebagai pemain generik tentu larinya memang ke siapa saja. Tapi memang segmennya lebih middle low. Produk kami yang sangat populer selama puluhan tahun yaitu OBH Combi yang segmennya di middle low. Di segmen menengah atas pun kami lebih banyak menarik konsumen wanita yang baru saja berkeluarga. Peran wanita ke depan sangat besar untuk kepentingan keluarga, terutama masalah kesehatan. Sementara itu, kami akan membangun satu pabrik baru tahun depan karena produk dan volume produksi kami bertambah. Pabrik kami sekarang ada di Padalarang, Bandung.
Sosialisasi organisasi Sukses itu mempunyai dua unsur, yaitu strategi yang dipergunakan harus tepat dan organisasinya. Dua unsur ini harus dimiliki, karena tidak cukup hanya dengan strategi yang tepat sementara organisasinya tidak siap. Organisasi harus bisa mendukung strategi. Sebaliknya, perusahaan yang punya organisasi tapi tak memiliki strategi sama saja tak sukses. Strategi itu relatif mudah dibikin. Dalam kurun waktu tiga bulan atau empat bulan, top management bisa duduk bersama-sama untuk membuat formulasi suatu strategi dengan berbagai pertimbangan sebab akibat.
Yang paling sulit adalah mindset dari organisasinya. Organisasi yang biasanya bekerja untuk perusahaan farmasi generik selama puluhan tahun harus diubah pola pikirnya terhadap strategi baru untuk jadi perusahaan consumer health. Yang paling pertama dilakukan adalah sosialisasi strategi yang baru. Ini tak cukup dilakukan sekali di forum, tapi butuh pendekatan cukup intens. Jadi, selama tahun 2013 lalu saya roadshow ke cabang-cabang Combiphar. Saya melakukan sosialisasi langsung ke karyawan di sekitar 30 cabang perusahaan ini. Saya juga melibatkan beberapa direksi untuk sosialisasi.
Saya maupun direksi lain menyampaikan perubahan arah bisnis Combiphar ke seluruh karyawan, termasuk buruh di pabrik. Hingga kini sosialisasi itu masih berjalan. Saya merasa alasan kami harus berubah sudah bisa diterima oleh banyak karyawan. Saya merasa perlu juga sosialisasi hingga ke level buruh agar tidak ada salah pengertian. Biasanya kalau cuma berhenti di level satu atau dua, implementasinya tidak sesuai harapan. Saat ini kami memiliki 1.400 karyawan. Berkat kerja keras seluruh awak Combiphar, pada awal tahun 2013 lalu kami memperoleh sertifikasi Therapeutic Goods Administration (TGA) dari Kementerian Kesehatan Australia. o
http://executive.kontan.co.id/news/kami-tidak-mau-sama-dengan-pemain-lain/2014/04/23